BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Dalam rangka meningkatkan produksi tanaman-tanaman
ekspor pada masa pemerintah Hindia Belanda mengangkat Johanes van den Bosch
sebagai gubernur. Kegagalan VOC dalam usaha mencari keuntungan di daerah koloninya
membawa negeri Belanda ke dalam kemiskinan dan hutang-hutangnya. Dengan
banyaknya pejabat yang melakukan korupsi merajalela di tubuh VOC yang pada
akhirnya badan usaha perdagangan harus dibubarkan.
Sejak awal abad ke 19 pemerintah Belanda mengeluar
biaya yang sangat besar untuk membiayai peperangan baik di negeri Belanda
sendiri ( Pemberontakan Belgia ) maupun di Indonesia ( terutama perlawanan di
Ponegoro ) sehingga negara Belanda harus menanggung hutang yang sangat besar
Untuk menyelamatkan negeri Belanda dari bahaya
kebangkrutan maka Johanes van den Bosch di tugaskan untuk mengembalikan
eksistensi Belanda di negeri jajahannya. Dengan tugas pokok penggali dana
semaksimal mungkin untuk mengisi kekosongan kas negera,membayar utang dan
membiayai perang. Dengan demikian sistem tanam paksa menjadi sebuah pilihan
untuk dijalankan guna pencapaian keuntungan negeri Belanda dalam hal produksi
tanaman ekspor. Kegagalan sistem pajak tanah menyakinkan van den Bosch bahwa
pemulihan sistem penyerahan wajib perlu sekali untuk memperoleh hasil tanaman
dagangan yang dapat di ekspor ke luar negeri (Nugroho Notosusanto, et, 1993 :
98).
Tanam paksa atau cultuur
stelsel adalah peraturan yang dikeluarkan oleh Gubernur Jenderal Johannes van
den Bosch yang mewajibkan setiap desa harus menyisihkan sebagian tanahnya (20%)
untuk ditanami komoditi ekspor khususnya kopi, tebu, nila. Hasil tanaman ini
akan dijual kepada pemerintah kolonial dengan harga yang sudah dipastikan dan
hasil panen diserahkan kepada pemerintah kolonial. Penduduk desa yang tidak
memiliki tanah harus bekerja 75 hari dalam setahun (20%) pada kebun-kebun milik
pemerintah yang menjadi semacam pajak.
Pada prakteknya peraturan itu dapat dikatakan tidak berarti karena seluruh wilayah pertanian wajib ditanami tanaman laku ekspor dan hasilnya diserahkan kepada pemerintahan Belanda. Wilayah yang digunakan untuk praktek cultur stelstel pun tetap dikenakan pajak. Warga yang tidak memiliki lahan pertanian wajib bekerja selama setahun penuh di lahan pertanian
Pada prakteknya peraturan itu dapat dikatakan tidak berarti karena seluruh wilayah pertanian wajib ditanami tanaman laku ekspor dan hasilnya diserahkan kepada pemerintahan Belanda. Wilayah yang digunakan untuk praktek cultur stelstel pun tetap dikenakan pajak. Warga yang tidak memiliki lahan pertanian wajib bekerja selama setahun penuh di lahan pertanian
Tanam paksa adalah era
paling eksploitatif dalam praktek ekonomi Hindia Belanda. Sistem tanam paksa
ini jauh lebih keras dan kejam dibanding sistem monopoli VOC karena ada sasaran
pemasukan penerimaan negara yang sangat dibutuhkan pemerintah. Petani yang pada
jaman VOC wajib menjual komoditi tertentu pada VOC, kini harus menanam tanaman
tertentu dan sekaligus menjualnya dengan harga yang ditetapkan kepada
pemerintah. Aset tanam paksa inilah yang memberikan sumbangan besar bagi modal
pada zaman keemasan kolonialis liberal Hindia-Belanda pada 1835 hingga 1940.
B.
Rumusan
Masalah
Dari uraian di atas maka dapat dirumuskan beberapa masalah yang berkaitan
dengan tanam paksa di pulau Jawa, sebagai berikut :
1. Latar belakang apa yang menyebabkan
diterapkan sistem tanam paksa di pulau Jawa
2. Bagaimana pelaksanaan sistem tanam paksa
di pulau Jawa
3. Bagaimana dampak pelaksanaan tanam paksa
bagi Pemerintah Hindia Belanda dan rakyat pulau Jawa
C. Tujuan Penulisan
Selain sebagai kewajiban penulis
dalam menempuh pendidikan pada jurusan IPS Sejarah di Universitas Samudra
Langsa khususnya dalam mengikuti perkuliahan”Met.& Historiografi Sejarah “
juga penulisan ini bertujuan sebagai berikut :
1.
Untuk mengetahui penyebab – penyebab terjadinya Sistem Tanam
Paksa di pulau Jawa
2.
Untuk mengetahui Bagaimana pelaksanaan sistem tanam paksa di pulau Jawa
3.
Untuk mengetahui dampak pelaksanaan Sistem Tanam Paksa bagi Pemerintah Hindia Belanda dan
rakyat pulau Jawa
D. Metode Penulisan
Dalam
melakukan penulisan makalah ini penulis menggunakan metode sejarah Kritis dan Metode
Historis dengan melalui empat langkah tahapan yaitu :
- Mencari dan mengumpulkan sumber dan data sebanyak mungkin dan relevan dengan penulisan ini baik diperpustakaan maupun ditempat – tempat yang lain.
- Melakukan kritikan terhadap sumber dan data yang ada baik yang bersifat kritik interern maupun kritik yang bersifat ekstern.
- Memunculkan fakta – fakta atau mengiterprestasikan sumber dan data dari sumber – sumber yang telah penulis dapatkan.
- Melakukan historiografi yaitu langkah penyusunan dan penulisan kembali atas sebuah peristiwa yang telah terjadi dimasa lampau dalam bentuk karya tulis atau makalah ini hingga terbentuklah penulisan baru sebagaimana yang tersaji dihadapan kita ini
E. Ruang Lingkup Pembahasan
Sesuai
dengan maksud penulisan makalah ini maka penulis membatasi diri tentang luas
ruang lingkup pembahasan yang mengkhususkan diri pada bahasan tentang Dampak
Pelaksanaan Sistem Tanam Paksa Terhada Rakyat Pulau Jawa Tahun 1830 – 1870
BAB II
LATAR BELAKANG
PELAKSANAAN SISTEM TANAM PAKSA
A.
Pengertian
Tanam Paksa
Cultuurstelsel ( harafial : Sistem kultivasi atau secara
kurang tepat di terjemahkan sebagai sistem Budaya ) yang oleh sejarawan
Indonesia disebut sebagai Sistem Tanam Paksa,adalah peraturan yang dikeluarkan
oleh gubernur jenderal johannes van den Bosch pada tahun 1930 yang mewajibkan
setiap desa menyisihkan sebagian tanahnya (20%) untuk ditanami komoditi
ekspor,khususnya kopi,tebu,dan tarun (nila).Hasil tanaman ini akan dijual
kepada pemerintah colonial dengan harga yang sudah dipastikan dan hasil panen
diserahkan kepada pemerintah colonial.Penduduk desayang tidak memiliki tanah
harus bekerja 75 hari dalam setahun (20%) pada kebun-kebun milik pemerintah
yang menjadi semacam pajak.
B.
Penyebab
Terjadinya Tanam Paksa di pulau Jawa
Seperti telah penulis ulas sebelumnya, sistem pajak tanah yang dikenalkan
oleh Raffles sejak 1811-1816 telah membawa beberapa persoalan terhadap kaum
feodal Jawa di daerah-daerah taklukan dan juga perubahan penting berupa sistem
kepemilikan tanah oleh desa. Kekecewaan para feodal terhadap sistem ini telah
mendorong lahirnya pemberontakan kerajaan. Pemberontakan ini kemudian lebih
dikenal dengan Perang Jawa atau perang Diponegoro.
Namun kalangan sarjana juga mengidentifikasi bahwa meletusnya perang ini
juga diakibatkan oleh keresahan para priayi yang mendapatkan keuntungan dari
sistem Raffles khususnya para priayi Surakarta
yang telah mengikuti lelang penguasaan tanah sistem Raffles (Rajagukguk: 1994)
namun sistem ini dinyatakan tidak berlaku oleh Belanda.
Perang ini telah membawa kerugian besar bagi Belanda yang pada saat itu
belum pulih dari kerugian selama Perang Eropa. Namun, menurut Onghok Ham,
Perang Diponegoro (1825-1830) juga telah memberi sumbangan penting bagi
Pemerintah Belanda dalam memahami seluk beluk penguasaan tanah di Jawa
pedalaman. Sebab, dukungan dan sekaligus perlawanan para priayi terhadap pihak
kolonial telah membuka pemahaman mereka bahwa sandaran kekuasaan Belanda di
Jawa hanya dapat bertahan jika para priyayi berkolaborasi dengan mereka. Kolaborasi
ini juga akan membawa stabilitas Jawa untuk dapat lebih memberi keuntungan
colonial.
Kekalahan yang dialami oleh pihak kerajaan dalam perang ini telah membuat
keresahan yang dialami oleh para priayi-priayi semakin meningkat. Sebab, dalam
situasi politik yang tidak stabil tersebut, intrik-intrik politik terkait
kesetiaan para priayi kepada raja tentu merupakan isu yang sangat sensitif.
Sehingga, setiap saat mengancam kedudukan sosial mereka.
Dalam posisi ini, Belanda sebagai pemenang perang yang telah memahami
hubungan sosial ini, menawarkan sebuah solusi politik yang ditujukan untuk
memperkuat kedudukan para priyayi. Tawaran tersebut adalah pemberian tanah
milik, gaji uang bulanan, dan kedudukan yang dapat diwariskan. Bagi para
priyayi, dalam situasi politik yang demikian, tawaran ini adalah kesempatan
yang sangat menggiurkan. Sebab, unsur ketidakpastian tentang status sosial dan
kepemilikan tanah yang selama ini melekat dalam sistem politik feodal kerajaan
Jawa terhadap para priayi dihilangkan.
Keuangan Belanda merosot karena selain kerugian VOC yang harus dibayar
juga karena biaya yang amat besar untuk menghadapi perang Diponegoro dan perang
Paderi. Di Eropa, Belgia memisahkan diri pada tahun 1830 padahal daerah
industri banyak di wilayah Belgia.
Untuk mengatasi kesulitan ekonomi tersebut maka diberangkatkanlah Johannes Van den Bosch sebagai Gubernur Jendral Hindia Belanda dengan tugas meningkatkan penerimaan negara untuk mengatasi masalah keuangan Pemerintah Hindia Belanda.Bagaimana cara Van den Bosch meningkatkan penerimaan negara? Van den Bosch memberlakukan sistem tanam yang kemudian menjadi tanam paksa.
Untuk mengatasi kesulitan ekonomi tersebut maka diberangkatkanlah Johannes Van den Bosch sebagai Gubernur Jendral Hindia Belanda dengan tugas meningkatkan penerimaan negara untuk mengatasi masalah keuangan Pemerintah Hindia Belanda.Bagaimana cara Van den Bosch meningkatkan penerimaan negara? Van den Bosch memberlakukan sistem tanam yang kemudian menjadi tanam paksa.
C.
Aturan – Aturan
Tanam Paksa
Ketentuan pokok dari sistem tanam paksa
tertera dalam Staatblad (lembar negara) tahun 1834 no.22 dan mulai dijalankan
di Jawa (Nugroho Notosusanto, et, 1993 : 99-100) sebagai berikut :
1.
Persetujuan-persetujuan
akan diadalan dengan penduduk agar mereka menyediakan sebagian dari tanahnya
untuk penanaman tanaman dagangan yang dapat dijual di pasaran Eropa.
2.
Bagian dari tanah pertanian yang
disediakan penduduk untuk tujuan ini tidak boleh melebihi seperlima dari tanah
pertanian yang dimiliki penduduk desa.
3.
Pekerjaan yang diperlukan untuk menanam
tanaman dagangan tidak boleh melebihi pekerjaan yang diperlukan untuk tanaman
padi.
4.
Bagian dari
tanah yang disediakan untuk menanam tanaman dagangan dibebaskan dari pembayaran
pajak tanah.
5.
Tanaman
dagangan yang dihasilkan untuk tanah-tanah yang disediakan, wajib diserahkan
kepada Pemerintah Hindia Belanda; jika nilai hasil-hasil tanaman dagangan yang
ditaksir itu melebihi pajak tanah yang harus dibayar rakyat, maka selisih
positifnya harus dikembalikan kepada rakyat.
6.
Panen
tanaman dagangan yang gagal harus dibebankan kepada pemerintah,
sedikit-dikitnya jika kegagalan ini tidak disebabkan oleh kurang rajin atau
ketekunan dari pihak rakyat.
7.
Penduduk
desa mengerjakan tanah-tanah mereka dibawah pengawasan kepala-kepala mereka,
sedangkan pegawai-pegawai Eropa hanya membatasi diri pada pengawasan apakah
membajak tanah, panen, dan pengangkutan tanaman-tanaman berjalan dengan baik
dan tepat pada waktunya.
Ketentuan-ketentuan di atas memang tampak
tidak begitu menekan rakyat. Alasannya adalah beberapa poin yang jelas
mengakomodir kepentingan petani atas hak mereka dalam mengambil hasil panennya.
Di samping itu juga rakyat tidak terlalu dibebani dengan menanam dan
memeliharan tanaman seperti tanaman padi. Dalam prakteknya ternyata sistem ini
memaksa rakyat menjalani apa yang mereka tidak duga-duga.
D.
Pelaksanaan
Tanam paksa
Sistem tanam paksa
berangkat dari asumsi bahwa desa-desa di Jawa berutang sewa tanah kepada
pemerintah, yang biasanya diperhitungkan senilai 40% dari hasil panen utama
desa yang bersangkutan. Van den Bosch ingin setiap desa menyisihkan sebagian
tanahnya untuk ditanam komoditi ekspor ke Eropa (Kopi, Tebu dan Nila atau indigo). Penduduk dipaksa
untuk menggunakan sebagian tanah garapan (minimal seperlima luas, 20%) dan
menyisihkan sebagian hari kerja untuk bekerja bagi pemerintah.
Dengan mengikuti tanam
paksa, desa akan mampu melunasi utang pajak tanahnya. Bila pendapatan desa dari
penjualan komoditi ekspor itu lebih banyak daripada pajak tanah yang mesti
dibayar, desa itu akan menerima kelebihannya. Jika kurang, desa tersebut mesti
membayar kekurangan tadi dari sumber-sumber lain. Sistem tanam paksa
diperkenalkan secara perlahan sejak tahun 1830 sampai tahun 1835. Menjelang
tahun 1840 sistem ini telah sepenuhnya berjalan di Jawa.
Dalam pelaksanaan
sistem ini pemerintah kolonial Hindia Belanda menggunakan aparat tradisional
untuk menguasai dan memerintah rakyat. Kepala desa merupakan mata rantai antara
petani dan pejabat-pejabat bangsa Indonesia yang lebih tinggi tingkatnya, yang
mencapai puncaknya pada bupati (yang disebut regent oleh Belanda), yaitu
seorang bangsawan yang mengepalai kabupaten ( M.C. Ricklefs, 2005 : 262).
Bupati bertanggung
jawab kepada pemerintahan Hindia Belanda. Para pejabat baik yang berkebangsaan
Eropa maupun bangsawan Indonesia yang melaksanakan sistem tanam paksa
inidibayar berdasarkan porsentase dari komoditi pertanian yang diserahkan
kepada pemerintah Hindia Belanda. Ini merupakan salah satu sumber korupsi yang
tumbuh subur dan perangsang munculnya tuntutan-tuntutan yang bersifat memaksa
atau memeras rakyat.
Hasil-hasil
bumi yang ditaksir terlalu kecul, perdagangan swasta dibidang komoditi
pertanian pemerintah semakin meningkat dan transaksi-transaksi yang curang
berkembang dikalangan pejabat-pejabat pribumi, orang-orang Belanda dan pera
pedagang Cina. Pemerintah kolonial di Batavia tidak pernah mampu memantau dan mengontrol
pengawasan pelaksanaan perintah-perintah (M. C. Ricklefs, ibid).
Salah
satu akibat yang penting dari tanam paksa adalah meluasnya bentuk milik tanah
bersama (milik komunal). Hal ini disebabkan karena para pengawai pemerintah
kolonial cenderung untuk memperlakukan desa dengan semua tenaga kerja yang
tersedia dan tanah pertanian yang dimiliki penduduk sebagai satu keseluruhan
untuk memudahkan pekerjaan mereka dalam menetapkan tugas menanam tanaman yang
ditetapkan.
Pelaksanaan
tanam paksa dapat dijalankan dengan unsur kekerasan di tinjau dari segi
ekonomis tidak efisien karena banyak pemborosan terjadi dalam penggunaan tenaga
kerja. Hal ini tentu sangat mudah dilaksanakan oleh pemerintah karena
menggunakan kepala desa sebagai komando dalam penggarapan tanah. Dalam
ketentuan sistem tanam paksa dijelaskan bahwa tanah rakyat yang digunakan untuk
penanaman tanaman ekspor adalah seperlima dari milik rakyat, namun kenyataan di
lapangan angka ini hampir separoh atau lebih dari tanah rakyat yang digunakan. Artinya
kesepakan dari sebuah ketentuan yang dibuat tidak dijalankan dengan baik, hal
ini yang merupakan awal proses kecurangan para pegawai pemerintah dan pejabat
pribumi untuk meraih keuntungan.
Untuk
melakukan pekerjaan tanam paksa yang seharusnya tidak melebihi pekerjaan
penanaman padi dan tanaman milik mereka sendiri. Praktek di lapangan menunjukan
bahwa adanya sebuah penyimpangan diantaranya adalah rakya dipaksa bekerja jauh
lebih lama dari garapan tanaman milik mereka dan upah yang diperoleh juga sangat
renda dari porsentasi pekerjaannya. Tekalan yang paling berat atas rakyat
terdapat di daerah-daerah tanaman indigo terutama di daerah Parahyangan
(Nugroho Notosusanto, et, 1993 : 104).
Indigo
merupakan salah satu tanaman ekspor yang paling laku di pasaran Eropa.
Penanaman indigo dilakukan dengan skala besar yang melibatkan tenaga rakyat
yang lebih banyak karena memerlukan lahan yang besar dan jaraknya pun jauh dari
pengolahan hasil panennya. Pemerintah kolonial Belanda menggunakan lahan padi,
hal ini ternyata menggangggu bagi proses penanaman padi sehingga rakyat sangat
tidak dapat menanam tanaman subsiten untuk menopang kehidupan mereka.
Pada
1840, area di bawah tanaman indigo berjumlah 42.833 bau melibatkan 207.118
keluarga petani. Perkembangan pada 1860 perkebunan indigo meliputi 15.546 bau
sedangkan rumah tangga petani yang terlibat dalam penanaman berjumlah 103.214
(A. M. Djuliati Suroyo dalam J. Thomas Lindblad (ed), 2002 : 123). Pelaksanaan
tanaman indigo mengalami kegagalan disebabkan oleh keuntungan yang kecilyang
diberikan kaum petani, para petani sering membuat hutang untuk membayar pajak
tanah. Di samping itu juga kegagalan disebabkan oleh tanaman indigo menanduskan
tanah dibandingkan dengan tanaman lain sehingga ada keengganan baik dari petani
maupun kepala desa yang ditugaskan pemerintah kolonial mendapatkan intensif
yang rendah.
Tebu
merupakan tanaman komoditi ekspor bagi pemerintah kolonial Belanda. Periode
1830-an dan 1840-an merupakan tahap awal perkembangan penanaman tebu ketika
sejumlah percobaan lapangan untuk menemukan daerah yang cocok. Hasil percobaan
tersebut menemukan bahwa tebu cocok untuk lahan-lahan padi dengan penerapan
sistem rotasi (A. M. Djuliati Suroyo dalam J. Thomas Lindblad (ed), 2002 :
122).
Karena
posisi petani lemah diukur dari kapasitasnya yang harus menyesuaikan diri
dengan sistem melalui pengorbanan tenaga dan waktu. Sementara pemerintah
kolonial berusaha menyesuaikan dengan permiantaan pasar akan kebutuhan gula
pada saat itu, sehingga petani sangat tertekan dalam pekerjaannya sebagai
tenaga kerja yang tak bergaji. Pemerintah mendapatkan keuntungan yang luar
biasa dari hasil penanaman tebu dan diikuti oleh kepala desa.
Di
antara tanaman ekspor, kopi dianggap paling stabil. Penanaman kopi telah
memberi pemerintah kolonial penghasilan yang besar. Beberapa kondiri ekologis
khusus membuat tanaman kopi menguntungkan yaitu kopi tidak ditanam pada
areal-areal padi, yang berarti mengganggu tanaman pangan utama, tetapi ditegal
atau tanah-tanah kering. Hal ini membuat tanaman tersebut bermanfaat karena
tegal biasanya ditanami dengan tanaman pangan yang kurang penting seperti ubi
jalar, ketela dan jagung.
Penanaman
kopi diperlukan tenaga kerja yang banyak untuk membuka dan menggarap lahan
serta menyiapkan bibit kopi. Setelah 3 tahun tanaman telah dewasa dan dapat
menghasilkan buah setiap bulan. Sepanjang periode tersebut sekitar 50% rumah
tangga petani terlibat dalam penanaman kopi. Pemerintah kolonial tidak
mendapatkan kesulitan memerintah agar rakyat bekerja di perkebunan kopi. Kadang-kadang
residen yang antusias menjalankan kemauannya sendiri dalam usaha memperluas
penanaman kopi, jadi sangat memberatkan beban yang dipikul rakyat, tetapi ini
merupakan kekecualian dari pada aturan (A. M. Djuliati Suroyo dalam J. Thomas
Lindblad (ed), 2002 : 124).
BAB III
DAMPAK PELAKSANAAN TANAM PAKSA BAGI PEMERINTAH
HINDIA BELANDA DAN RAKYAT PULAU JAWA
A. Dampak Tanam Paksa
Tanam paksa
adalah gagasan Gubernur Jenderal van den Bosch yang menganggap Indonesia
sebagai wingewest bermanfaat atau koloni yang menguntungkan. Sistem
tanam paksa adalah sebuah sistem eksploitasi ekonomi yang dipandang paling
penting. Eksploitasi ini mampu mendanai pemerintah kolonial dan yang paling
penting menyumbang bagi kekayaan negara di Belanda.
Sistem tanam paksa merupakan sistem manajemen perkebunan yang dikontrol
pemerintah kolonial menggunakan tenaga kerja dan tanah petani. Sistem ini
sebuah sistem industri agraris yang di dalamnya pemerintah kolonial
memanipulasi kekuasaan dan pengaruhnya untuk mamaksa para petani mananam
komoditas-komoditas ekspor. Para petani kemudia menyerahkan produk-produknya
kepada pemerintah kolonial dengan upah yang rendah. Pemerintah memainkan dua
peran yaitu menjadi pedagang dan penguasa.
Hal ini merupakan alasan utama sistem taman paksa dapat berhasil tanpa
menciptakan beberapa keresahan sosial serius atau pemberontakan dan lagi pula
sangat menguntungkan pemerintah kolonial serta pejabat-pejabat pribumi yang
manfaatkan situasi. Sistem tanam paksa pada umumnya berhasil dalam memperoleh batig
slot (saldo untung) yang besar. Terbukti dari angka-angka, antara tahun
1832-1867 saldo untung mencapai f. 967 juta, dan untuk 10 tahun berikutnya,
tahun 1877 mencapai jumlah f. 287 juta. Dengan demikian jumlah total batig
slot yang diperoleh negeri Belanda selama kuran glebih empat dasa warsa
mencapai f. 784 juta (Nugroho Notosusanti, et, 1993 : 115-116), sesuatu angka
yang sangat fantastis.
Dengan demikian sistem tanam paksa pada dasarnya suatu sistem eksploitasi
yang sama seperti dilakukan oleh VOC sebelumnya. Dalam eksploitasi ini baik VOC
maupun pemerintah kolonial memanfaatkan ikatan-ikatan feodal dan tradisional
yang terdapat di Jawa khususnya antara rakyat dan penguasa-penguasanya untuk
kepentingan sendiri.
Dampak tanam paksa bagi orang –orang Jawa dan Sunda di seluruh Jawa sangat
beragam. Bagi kalangan elit bangsawan di seluru Jawa, ini merupakan zaman yang
benar-benar menguntungkan. Kedudukan mereka menjadi lebih aman dan penggantian
secara turun-temurun untuk jabatan resmi menjadi norma. Mereka selalu membuat
keuntungan dari persentase yang dibayarkan atas penyerahan hasil bumi (M. C.
Ricklefs, 2005 : 264).
Tujuan utama pemerintah kolonial Belanda menempatkan dan memanfaatkan
prestise tradisional agar mendapatkan administrasi murah. Dengan demikian
perlahan para bangsawan yang tunduk pada kekuasaan Belanda akan meninggalkan
kedudukan mereka sebagai pimpinan di dalam masyarakat, walaupun prestise mereka
masih tetap kuat di kalangan penduduk desa.
Dampak dari penanaman paksa komoditi pertanian dianalisis sebagai berukut;
pengembangan tebu dan perkebunan nila telah mengambil lahan, tenaga kerja dan
air dari penanaman padi, sehingga merugikan penduduk setempat yang hanya
mengandalkan padi sebagai tanaman subsistennya. Namun demikian adanya penduduk
yang menjadi tenaga kerja akan mendapatkan upah. Di beberapa daerah seperti
Pasuruan, penduduk setempat mengembangkan hubungan simbiosis dengan penanaman
tebu dan gula secara bergantian, tetapi petani akan dibebankan pada pengolahan
tanah yang rusak akibat penanaman tebu.
Sesuatu yang perlu diambil dari sistem tanam paksa adalah ada nilai-nilai
positif walau tidak sebanding dengan kesengsaraan rakyat akibat kekuasaan
penguasa. Salah satunya adalah penduduk yang pernah dijadikan objek atau daerah
eksploitasi mengenal jenis dan cara dari tanaman ekspor yang tentunya akan
menjadi modal serta pengalaman mereka akan datang. Dengan adanya tanam paksa
penduduk Jawa secara luas diperkenalkan dengan uang sebagai alat tukar dalam
membeli barang, walaupun uang merupakan sesuatu yang sangat mahal bagi mereka.
Orang yang paling mendapatkan keuntngan dari sistem tanam paksa adalah para
bangsawan dan pejabat-pejabat pribumi yang pada dasarnya terang-terangan
mempraktekan kolusi dan korupsi setta manipulasi. Sehingga tidak haran bahwa
yang menjadi dasar kesengsaraan rakyat adalah para bangsawan dan pejabat
pribumi yang sengaja mencari keuntungan demi kepentingan kelompok dan individu
1. Dalam bidang pertanian
Cultuurstelsel menandai dimulainya penanaman komoditi
pendatang di Indonesia secara luas.Kopi dan the,yang semula hanya ditanam untuk
kepentingan keindahan taman mulai dikembangkan secara luas.Tebu,yang merupakan
tanaman asli,menjadi popular pula setelah sebelumnya,pada masa VOC, perkebunan
hanya berkisar pada tanaman “tradisional”penghasil rempah – rempah seperti
lada,pala,dan cengkeh.Kepentingan peningkatan hasil dan kelaparan yang melanda
jawa akibat merosotnya produksi beras meningkatkan kesadaran pemerintah koloni
akan perlunya penelitian untuk meningkatkan hasil komoditi pertanian,dan secara
umum peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui pertanian.walaupun
demikian,baru setelah pelaksanaan UU Agraria 1870 kegiatan penelitian pertanian
dilakukan secara serius
2. Dalam bidang ekonomi
Dengan adanya tanam paksa tersebut menyebabkan pekerjaan
mengenal system upah yang sebelumnya tidak dikenal oleh penduduk,mereka lebih
mengutamakan system kerjasama dan gotongroyong terutama tampak di kota - kota pelabuhan maupun di pabrik – pabrik
gula.Dalam pelaksanaan tanam paksa,penduduk desa diharuskan menyerahkan
sebagian tanah pertaniannya untuk ditanami tanaman ekspor,sehingga banyak
terjadi sewa menyewa tanah milik penduduk dengan pemerintah kolonisl secara
paksa.dengan demikian hasil produksi tanaman ekspor bertambah,mengakibatkan
perkebunan – perkebunan swasta tergiur untuk menguasai pertanian di Indonesia
di kemudian hari.
3. Dalam bidang sosial
Dalam
bidang pertanian,khususnya struktur agraris tidak mengakibatkan adanya
perbedaan antara majikan dan petani kecil penggarab sebagai budak,melainkan
terjadinya homogenitas sosial dan ekonomi yang prinsipnya pada pemerataan dalam
pembagian tanah.Ikatan antara penduduk dan desanya semakin kuat hal ini malahan
menghambat perkembangan desa itu sendiri.Hal ini terjadi karena penduduk lebih
senang tinggal di desanya,mengakibatkan terjadinya keterbelakangan dan
kurangnya wawasan untuk perkembangan kehidupan penduduknya.
B. Keuntungan Sistem Tanam Paksa Bagi Belanda
Bagi Belanda sistem tanam paksa sangat menguntungkan. Bahkan, keuntungan
dari tanam paksa telah mampu mentransformasi negara Belanda menjadi negara
industri dan perdagangan yang kokoh dan kuat. Modal tersebut didapat dari
keuntungan tanam paksa (batig slot) di Jawa.
Tanam paksa telah membuat barang-barang hasil ekspor pertanian dan
perkebunan Jawa menjadi kompetitif dengan barang-barang serupa dari Amerika
Latin dan Hindia Barat yang didapatkan melalui sistem perbudakan modern.Untuk
pemerintah colonial, sistem tanam paksa telah membawa keuntungan berupa: 11, 3
juta gulden pada tahun 1830. Kemudian keuntungan tersebut meningkat 66, 1 juta
gulden pada 1831.
Menurut Burger, sejak 1832-1867 total saldo keuntungan (batig slot) yang
diambil dari Jawa sejak 823 juta gulden. Dengan modal sedemikian, Belanda
mempunyai cukup modal untuk membayar lunas semua hutang VOC dan merombak
perekonomian nasional mereka untuk menyalurkan kredit dalam rangka menumbuhkan
pengusaha swasta nasional mereka. Bahkan, pada tahun 1851-1860 Hindia Belanda
menyumbang 30 persen dari total pendapatan negeri Belanda (Simarmata:2002).
C. Akibat
Tanam Paksa Bagi Masyrakat Pulau Jawa
Bagi masyarakat Jawa keuntungan besar yang dinikmati oleh Belanda adalah
malapetaka besar. Bahkan, sistem tanam paksa tetap meninggalkan bekas-bekasnya
sosial yang mendalam hingga saat ini.Kemiskinan yang mendalam dan akut dialami
oleh rakyat Jawa. Di Semarang, Cirebon
dan Demak dilaporkan sepanjang 1849-1850 terjadi bencana kelaparan hebat yang
telah mengakibatkan 200.000 korban meninggal atau terpaksa pindah ketempat
lain.
Namun, beberapa akibat sosial tanam paksa tersebut adalah yang bisa kita
periksa adalah:
1.
Pengambil alihan tanah sikep menjadi milik desa dan
membagikan tanah-tanah sikep kepada para numpang dan bujang tersebut telah
melahirkan petani rumah tangga dengan kepemilikan tanah pertanian yang kecil. Para petani kecil ini masih dibebani dengan kerja
tambahan tersebut sehingga tidak dapat mengembangkan diri meski mempunyai tanah
garapan yang dapat mereka wariskan kepada keturunan mereka.
2.
Kewajiban-kewajiban kerja dan kewajiban penanaman
tersebut telah mendorong kelahiran penduduk yang cepat di kalangan petani untuk
menurunkan beban kerja keluarga.
3.
Sementara itu, secara politik sistem ini juga telah
menghidupkan pemerintahan Desa menjadi struktur pemerintahan efektif mengontrol
administrasi kewilayahan dan penduduk. Sistem ini juga menjadikan kepemimpinan
di wilayah Jawa menjadi sangat otoriter.
4.
Masyarakat petani mulai memanfaatkan lahan pekarangan
rumah untuk bertahan hidup dengan mempekerjakan perempuan dan anak-anak mereka.
Lahan pekarangan secara teori memang tidak dihitung pajaknya.
5.
Sistem tanam paksa telah menutup peranan ekonomi
kalangan swasta untuk tumbuh dan berperan baik dari kalangan priayi, tionghoa,
arab maupun golongan pengusaha Belanda sendiri.
6.
Tanam paksa juga telah melahirkan pengistilahan baru
dalam lapisan-lapisan di masyarakat petani. Istilah-istilah kuli kenceng
(kewajiban penuh kerja bakti), kuli setengah kenceng (tidak bertanggung jawa
penuh) telah menggantikan istilah sikep dan numpang. Sebab, semua pemilik tanah
wajib menjalankan kerja bakti di tanah-tanah cultuurstelsel.
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Sistem tanam paksa pada abad ke-19 merupakan alat yang digunakan oleh
pemerintah kolonial Belanda untuk mengeksploitasi potensi ekonomi demi mencapai
keuntungan maksimum dengan cara yang paling ekonomis dan efektif. Sistem ini
menghasilkan keuntungan besar untuk negeri induk, negara kolonial dan dengan
cara paling sederhana juga menguntungkan kaum tani, sekalipun dalam tingkat
yang bervariasi sesuai dengan status sosial.
Sistem tanampaksa mempunyai dampak positif dan negatif bagi petani.
Berdampak positif dalam artian menawarkan penghasil tambahan bagi petani dengan
ekspansi luas lahan padi dan diversifikasi kesempatan kerja. Dampak negatif
dalam pengertian membebani masukan kerja wajib yang besar pada petani baik
tanpa sejumlah imbalan uang atau pada sisi terbaik dengan imbalan kecil.
Sistem tanam paksa telah membantu perkembangan pola pembangunan ekonomi
yang memaksakan perubahan sosial pada masyarakat petani abad ke-19. Perumahan
melibatkan kesenjangan yang lebar antara elit desa dan kelas-kelas yang lebih
rendah dari kaum tani.
DAFTAR
PUSTAKA
J. Thomas Lindblad (ed). 2002. Fondasi
Historis Ekonomi Indonesia; A. M. Djuliati Suroyo. Penanaman Negara di
Jawa dan Negara Kolonial. Yogyakarta : Pusat Studi Sosial Asia Tenggara dan
Pustaka Pelajar.
Marwati Djoened Poesponegoro, Nugroho
Notosusanto. 1993. Sejarah Nasional Indonesia Jilid IV. Jakarta : Balai
Pustaka.
M. C. Ricklefs. 2005. Sejarah Indonesia
Modern 1200-2004. Jakarta : Serambi
Sartono Kartodirdjo. 1999. Pengantar
Sejarah Indonesia Baru 1500-1900. Penerbit : PT.Gramedia Pustaka
Utama,Jakarta.
Amrin Imran.Saleh
A.Djamhari. 1998. Sejarah Nasional dan Umum. Dicetak oleh : PT.Balai
Pustaka ( Persero)
Ingin Cari Kaos Dakwah Terbaik, Disini tempatnya:
BalasHapusTshirt Dakwah Quote
Mau Cari Bacaan Cinta Generasi Milenia Indonesia mengasikkan, disini tempatnya:
Punya Pasangan Sempurna Nggak Indah Kelihatannya
3D Sonic the Hedgehog 3 is Titanium auctor - TITNIA.com
BalasHapus3D Sonic titanium metal the Hedgehog used ford escape titanium 3 is Titanium auctor, a design based on the three-dimensional Sonic the Hedgehog movie babyliss pro nano titanium curling iron from the 1995 edc titanium movie, which was titanium white paint